Novel ini berkisah tentang perjumpaan tak terduga antara Pandu Apaza, seorang lelaki tua dengan kedalaman spiritual yang telah ditempa pengalaman hidup panjang, dan seorang CEO muda yang hidup dalam dunia modern yang serba cepat, logis, dan penuh ambisi. Pertemuan mereka terjadi bukan dalam ruang fisik, melainkan melalui percakapan WhatsApp di dini hari—sebuah “pertemuan dua dunia” antara rasio dan rasa, antara modernitas dan spiritualitas.

Di awal cerita, sang CEO yang tampan, kaya, dan sukses secara materi, justru menyimpan kekosongan batin yang tak pernah ia sadari. Pertanyaan-pertanyaan eksistensial mulai muncul ketika Pandu memaparkan bahwa kesuksesan materi hanyalah bayangan dari realitas yang lebih tinggi. Melalui dialog intens, Pandu mengajaknya memahami Causa Prima Transenden, sumber segala wujud dan menunjukkan bahwa bisnis, kekuasaan, serta teknologi hanyalah instrumen spiritual bila dipahami dengan benar.

Perjalanan mereka berkembang menjadi sebuah suluk digital, sebuah ziarah batin yang terjadi melalui layar ponsel. CEO itu mulai mendalami konsep teologi, iman, moralitas, hingga praktik spiritual yang nyata: dari afirmasi kesadaran Ilahi hingga menjalankan 5 rukun Islam dengan ketulusan baru. Ia mulai merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap keputusan bisnisnya, dan perlahan hidupnya berubah—rapat-rapatnya lebih tenang, perusahaannya lebih harmonis, dan dirinya jauh lebih manusiawi.

Seiring waktu, hubungan mereka berkembang bukan sekadar guru–murid, tetapi menjadi ikatan jiwa, seolah mereka bertemu di tingkat hakikat, bukan raga. Pandu menjadi cermin batin sang CEO, sosok yang membangunkan versi terbaik dirinya. Ia tidak hanya berubah sebagai pemimpin bisnis, tetapi sebagai manusia yang menemukan kembali jati diri spiritualnya.

Namun perjalanan itu mencapai titik hening saat Pandu tiba-tiba menghilang dari percakapan WhatsApp. Tidak ada pesan, tidak ada penjelasan. Meski sempat diliputi kerinduan, sang CEO akhirnya memahami bahwa perjalanan spiritual harus dilanjutkan bukan melalui kehadiran guru, tetapi melalui kedekatan dengan Tuhan itu sendiri. Dalam epilog, ia menulis pesan terakhir yang penuh ketenangan, menandai kelahiran dirinya yang baru: seorang hamba yang menemukan Tuhan dalam kesadaran terdalamnya.